Kamis, 06 Desember 2012

Urban Planning dalam Perspektif Sosial dan Ekonomi

Kolaborasi Elemen Urban Planning dalam Perspektif Sosial dan Ekonomi melalui Pengembangan Infrastruktur untuk Meningkatkan Performa Kota

Bagian: I

Dari perspektif historis sosiologis, munculnya kota sebenarnya sudah mulai terjadi semenjak masyarakat memasuki fase agrarian society (Lihat uraian para ahli sosiologi dan antropologi yang dibahas panjang lebar oleh  Macionis (1977). Dalam kajian itu, Macionis membagi perkembangan masyarakat berbasis teknologi produksi, pola pemukiman, organisasi sosial dan sebagainya, dalam lima fase: mulai dari hunting and gathering society, pastoral and horticultural society, agrarian sociaety, kemudian industrial society, terakhir adalah post-industrial society.). Pada saat itu, aktivitas dan mata pencaharian penduduk masih terpusat di desa-desa, karena berupa usaha pertanian yang pada umumnya berada di kawasan pedesaan (country side). Sementara itu, pertumbuhan produksi hasil pertanian yang tinggi menyebabkan tidak semua hasil itu dapat diserap dan disimpan untuk konsumsi internal setiap masyarakat yang ada di kawasan itu. Dari proses inilah kemudian berkembang proses “perdagangan” (yang awalnya berupa barter), yang terpusat bukan di sentra- sentra produksi hasil pertanian, tetapi di titik-titik dimana alur lalu lintas barang dan jasa mengalami pertautan. Inilah titik tumbuh munculnya kota pada fase agrarian society.
Pada  fase itu, secara umum karakteristik kota tidak jauh berbeda dengan desa. Di kota seperti itu, aktivitas utama adalah akumulasi hasil produk (pergudangan, sortir, pembungkusan dan kemudian penyaluran). Kebutuhan akan sarana pertanian (tradisional) mengharuskan munculnya usaha pembuatan alat-alat pertanian, yang biasanya masih berskala lokal dan diproduksi dengan teknologi yang ada pada fase itu. Handtools ini memang selangkah lebih maju dari primitive weapons, yang sejak awal peradaban manusia telah dikenal, baik sebagai senjata maupun alat berproduksi (berburu maupun berladang pindah). Unit produksi ini memang mulai muncul tetapi belum mampu menjadi pengerak ekonomi yang penting, karena dominasi usaha pertanian lebih menonjol (Gambaran tentang kehidupan pertanian dan perkembangan ekonomi jangka panjang yang mendahului dan mendorong hadirnya revolusi industri diurai secara panjang lebar oleh Laeyendeckker (1985).
Baru pada fase industrial society, kota benar-benar memiliki perbedaan yang sangat mendasar dari  desa maupun kawasan yang ada di luarnya. Jika mengacu pada sejarah industrialisasi, khususnya di negara negara Eropa (Pada umumnya  milestone untuk menunjukkan fase industrial society adalah ditemukannya mesin uap, kemudian mendorong munculnya revolusi industri di Inggris, yang kemudian menyebar ke negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Gambaran secara detail tentang perkembangan ini diurai oleh Gravovetter (1992), kota mengalami perubahan yang mendasar ketika proses-proses produksi industrial terpusat di kota-kota. Perbedaan mendasar dari karakteristik kegiatan usaha, relatif lebih tingginya nilai tambah (upah dan penghasilan lain), serta pergeseran tatanilai budaya industri yang modern menggantikan budaya agraris tradisional, telah menjadikan industri sebagai fajar baru yang merekah dan menarik banyak pihak untuk terlibat di dalamnya. Akhirnya, pertumbuhan industri yang menggunakan ruang kota (karena kebutuhan kemudahan, fasilitas dan prasarana dan semua ini pada umumnya tersedia di kota) menyebabkan kota menjadi tempat aglomerasi penduduk yang makin lama makin menguat. Inilah ciri kota pada fase industrial society, kegiatannya dan penduduk terpusat di kota.
Tumbuhnya pola perkembangan kota (Buku klasik karya  E. W. Burgess (1967) nampaknya masih menjadi referensi  banyak ahli ilmu sosial untuk menjelaskan  fenomena perkembangan kota, terutama kaitannya dengan industrialisasi) yang mengikuti hadirnya industri antara lain nampak dari munculnya pola pemukiman mengikuti alur sepanjang jalur transportasi (pola pita), mengikuti agregat industri yang ada di kota (pola multinuclei) serta pola sektoral yang tumbuh akibat terjadinya pemanfaatan ruang kota yang makin berragam. Terlepas dari seperti apa pola pemanfaatan ruang kotanya, kecenderungan yang nampaknya umum terjadi adalah (1) pertumbuhan pemanfaatan ruang kota mengalami akselerasi yang tinggi sejalan dengan meningkatnya aktivitas industri dan pendukungnya, (2) kota dengan aktivitas industrinya  memiliki kekuatan penarik (pull factor) yang kuat sehingga terjadi aglomerasi penduduk yang tinggi, (3) intensitas pemanfaatan ruang kota yang makin tinggi sehingga kemudian menjadi kekuatan menumbuh-kembangkan kawasan pinggiran kota, sebagai embrio munculnya kawasan urban baru di pinggiran kota (Lihat pula kajian lain seperti yang dilakukan oleh  Tommy Firman (1989) dalam mengkaji kota-kota di sekitar Jakarta, yang semula dikenal dengan konsep Jabotabek, kemudian kini dikenal dengan Jabodetabek).
Perkembangan industri yang meluas sejalan dengan proses modernisasi telah memacu berkembang dan munculnya kota-kota di negara sedang berkembang (Untuk mendapat pemahaman tentang karakteristik ekonomi dan sosial masyarakat negara sedang berkembang, lihat Todaro (1977), namun dapat pula dilihat pada buku-buku klasik tentang keterbelakangan dan ketergantungan, misalnya karya Gunnar Myrdal, J.W. Schoorl dan sebagainya). Relokasi industri ke negara-negara sedang berkembang dengan cepat menumbuhkan kawasan industri baru, yang umumnya berkembang di kota-kota. Kebutuhan lapangan kerja di negara baru merdeka dan tekanan jumlah angkatan kerja akibat baby-boom, yang umumnya dialami negara sedang berkembang pasca kemerdekaan, menyebabkan problema baru di kota-kota yang umumnya menjadi tujuan urbanisasi penduduk pedesaan di negara tersebut. Munculnya hunian liar, kampung kumuh di tengah kota serta fenomena sektor informal perkotaan, beserta berbagai bentuk perilaku kaum marginal perkotaan,  menjadi wajah yang umum ditemui di kota-kota di negara sedang berkembang.

Bagian: II

Kota sebagai sebuah sistem kehidupan merupakan sebuah entitas yang kompleks, yang dapat dipandang sebagai sebuah sistem sosial, dimana di dalamnya terdapat sub-sub sistem (budaya, ekonomi, politik), yang satu sama lain saling berkaitan dan mempengaruhi (interrelated sub systems) (Larry Lyon dalam The Community in Urban Society (1987) menunjukkan keberadaan community, yang berbeda dari society dalam lingkungan perkotaan). Sebagai sistem sosial,  kehidupan masyarakat kota dapat dilihat dari dua sisi yang bisa dibedakan, tetapi tak bisa dipisahkan: Struktur sosial dan Proses sosial.Dari sisi struktur sosial, masyarakat kota dipengaruhi oleh berbagai parameter atau atribut yang membentuk struktur tersebut. Parameter struktur sosial ini terdiri dari dua macam, yaitu pertama, parameter nominal, yang membagi secara tegas anggota masyarakat ke dalam dua kategori yang berbeda, misalnya jenis kelamin, pekerjaan pokok, suku bangsa, agama dan sebagainya. Parameter yang lain adalah parameter graduated, parameter bertingkat-jenjang seperti umur, penghasilan, tingkat pendidikan dan sebagainya. Dari sisi parameter nominal, perbedaan yang terjadi akan menghasilkan keragaman sosial (social heterogenity), makin berragam parameter nominal ini, makin berragam pula karakteristik sosial yang ada dalam masyarakat. Pada sisi yang lain, bekerjanya parameter  graduated akan menumbuhkan kesenjangan sosial (social inequality), makin senjang posisi sosial masyarakat dalam struktur tersebut, semakin jauh jarak sosial (social distance) antar warga tersebut. Sebaliknya, makin pendek kesenjangan, makin dekat jarak sosialnya (Secara rinci lihat Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, materi untuk bahan ajar Akademi Militer, 1991).
Ini semua menjadi pembangun dan penentu sturktur sosial yang ada dalam masyarakat kota, sekaligus mempengaruhi proses sosial: interaksi sosial yang terjadi diantara penduduk kota tersebut. Ini akan mempengaruhi proses interaksi sosial masyarakat, apakah akan menumbuh- kembangkan kerjasama (cooperation), atau sebaliknya justru menumbuhkan persaingan (competition) atau bahkan menghadirkan pertentangan (conflict) yang dapat menggoyahkan sendi sendi kehidupan masyarakat tersebut (Lihat Waters and Crook (1990) atau buku-buku teks klasik sosiologi akan secara rinci menjelaskan tentang interaksi sosial dan bentuk-bentuk interaksi sosial ini). Dalam perspektif sosiologis, makin ragam suatu masyarakat dan atau disertai oleh makin tingginya kesenjangan sosial ekonomi di dalam masyarakat tersebut, akan sangat besar pengaruhnya terhadap proses intergrasi sosial (social integration) masyarakat. Perbedaan sosial dan jarak sosial akan menghasilkan sekat-sekat sosial yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses integrasi sosial masyarakat, suatu kondisi atau prasyarat yang umumnya yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk berkembang secara normal dan wajar.

Bagian: III

Sejarah kota-kota di Indonesia, khususnya kota-kota yang dimasa lalu berkembang karena perdagangan, tidak dapat dipungkiri fakta historisnya bahwa kota-kota itu menjadi persinggahan, pertemuan dan percampuran lintas budaya, etnis, agama sehingga menghasilkan kompleksitas masyarakat yang sangat tinggi. Kemajemukan masyarakat kota-kota seperti itu makin bertambah sejalan dengan majunya sarana transportasi maupun terbukanya isolasi geografis, baik  dimasa lalu maupun sekarang ini. Kota menjadi representasi masyarakat yang berkarakter majemuk, baik dalam pengertian sebagai plural society maupun pluralistic society. Gambaran Furnivall tentang masyarakat majemuk sebagai masyarakat bangsa yang terpilah sesungguhnya jelas terjadi dalam masyarakat kota-kota di Indonesia, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan. Dalam pemahaman Rabuskha dan Shepsle (Lihat karya Rabuskha dan Shepsle “Politics in Plural Society”. Dalam buku ini Rabuskha mengupat konsep masyarakat majemuk dari J.S. Furnivall dan M.G. Smith, serta secara panjang lebar menggambarkan kosepnya tentang plural dan pluralistic society), persamaan antara plural society dan pluralistic society  terletak pada faktor cultural diversity, adanya keragaman kultural, mengingat sangat sukar dipahami suatu masyarakat yang memiliki kebudayaan tunggal, tanpa ada di dalamnya keragaman subcultures. Namun pada pluralistic society, keragaman ini tidak menimbulkan problema integrasi sosial yang significant, sementara pada plural society, keragaman kultural ini menimbulkan problema integrasi sosial masyarakat, mengingat adanya faktor lain yang mendukung keragaman itu sebagai entitas yang diperjuangkan melalui political organization dan menjadikannya kekuatan yang memberi arah perjuangan sepanjang atau berbasis garis etnis atau kultur tertentu (ethnic salience).Jadi pada dasarnya, di Indonesia sekarang ini (maupun di masa lalu), karakteristik masyarakat kotanya adalah masyarakat yang majemuk  dalam pengertian  plural society, sehingga keragaman ini menjadi faktor yang mempengaruhi dinamika maupun integrasi sosial masyarakat tersebut. Kondisi ini akan memiliki implikasi yang kian penting manakala konfigurasi parameter nominal maupun graduated yang ada dalam masyarakat tersebut mengarah pada kondisi yang saling mengukuhkan (konsolidasi parameter struktur sosial), bukan membangun irisan-irisan antar parameter sehingga membuka sekat sosial yang ada menjadi makin terbuka (interseksi parameter struktur sosial).
Konsolidasi parameter struktur sosial terjadi manakala parameter yang satu berkembang saling mengukuhkan (coinsided) dengan parameter yang lain. Akibatnya antar parameter itu membangun kekuatan yang berkembang saling mengukuhkan. Jika menengok masa lalu, kondisi yang demikian diperparah lagi dengan realitas keberadaan tiap komunitas etnis dalam ruang kota tertentu, yang terpisah dari komunitas etnis yang lain. Terlebih lagi jika kemudian diikuti oleh terjadinya economic and social inequality antar komunitas etnis tersebut. Masyarakat kota yang demikian tergolong masyarakat yang fragile, integrasi sosialnya rapuh, sehingga mudah terjadi konflik yang mengarah pada all out war antar komunitas etnis. Ini yang kemudian mendorong pemerintah kolonial dahulu menggunakan force (Dalam analisis JS Furnivall, karakteristik masyarakat majemuk adalah rawan konflik dan kemungkinan konflik yang terjadi menyerupai all out war, sehingga menurut Furnivall, untuk mengintegrasikan masyarakat yang demikian, diperlukan kekuatan (force) yang dapat memaksa terjadinya integrasi sosial. Nasikun mengkritik pandangan ini karena terlalu simplistik dan menyederhanakan masalah) untuk mengintegrasikan  masyarakat yang seperti itu. Apakah di era kemerdekaan, di era demokratisasi dan HAM sekarang ini, pola penanganan seperti itu masih relevan?.

Bagian: IV

Pembangunan merupakan upaya untuk membuat kondisi menjadi lebih baik (Lihat Tjokrowinoto (1996), “Pembangunan, Dilema dan Tantangan”). Tapi tidak dipungkiri  bahwa pembangunan telah membawa dampak, baik positip maupun negatip. Positip bagi siapa atau negatip bagi siapa? Pertanyaan seperti itu seringkali muncul dalam perjalanan waktu pelaksanaan pembangunan di Indonesia semenjak Orde Baru. Pembangunan telah membawa banyak perubahan di Indonesia, khususnya di wilayah perkotaan. Urban planning yang dilakukan semakin lama semakin mengarah pada upaya memanfaatkan ruang kota sesuai dengan standart kehidupan yang lebih “memanusiakan manusia”. Sungguhpun demikian, masih  banyak pula urban planning dilakukan karena tuntutan kondisi yang mengharuskan adanya penataan (emergency plann), sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan sebelum menjadi makin sukar diselesaikan. Urban planning pada umumnya dituangkan dalam ketentuan peraturan perundangan sebagai produk politik lembaga yang kompeten dan harus dilaksanakan oleh lembaga yang kompeten pula. Namun das sein selalu sama dan sebangun dengan das sollen. “Apa yang seharusnya”  yang berujud urban planning itu, seringkali tidak sesuai dengan “apa yang senyatanya”, karena apa yang direncanakan itu tidak dapat diimplementasikan di lapangan. Realitas menunjukkan,  banyak produk peraturan tata ruang bak macan ompong, yang tidak sesuai dengan harapan dan kaidah penyusunannya. Persoalan ekonomi, sosial, politik dan kepentingan berbagai stakeholder, berkelindan menyertai permasalahan ini. Kompleksitas masyarakat yang berkarakter plural society makin membuat permasalahan seperti ini makin tak mudah diurai dan dipecahkan.
Dalam konteks pengembangan infrastruktur perkotaan, permasalahannya jelas tidak semudah merencanakannya, terutama jika perencanaan itu tidak mengakar ke bawah (grassroot planning, bottom up planning). Perencanaan yang mengabaikan kondisi struktur sosial dan proses sosial ekonomi yang ada dalam masyarakat akan menghadapi banyak kendala dalam implementasinya. Bahkan, pengembangan infrastruktur kota akan dipandang sebagai hal yang baik dan menguntungkan bagi suatu kelompok, namun bisa juga akan dipandang sebagai ancaman, bahkan ancaman yang mematikan,  bagi kelompok yang lain. Terlebih lagi jika pengembangan infrastruktur kota itu akan mendorong makin kokohnya konsolidasi parameter struktur sosial, serta mengukuhkan kesenjangan ekonomi yang ada dalam masyarakat. Akibatnya, tanggapan dan reaksi (resistensi atau penerimaan) antar kelompok akan berlainan terhadap hadirnya suatu pengembangan infrastruktur, yang tujuannya untuk meningkatkan performa kota.

Bagian: V

Pembangunan pada dasarnya memiliki katerkaitan dengan proses transformasi dan mobilisasi sumber daya politik, ekonomi, sosial dan budaya untuk melakukan perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Proses pembangunan dapat menuju ke arah pemberdayaan, pembebasan, kesetaraan, tetapi juga bisa menumbuhkan dominasi, ini tergantung bagaimana proses transformasi dan mobilisasi itu dikelola dan dilaksanakan.

Kegiatan pembangunan yang selama ini dilakukan memiliki kelemahan karena berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas dan modernism, sehingga kurang mendorong tumbuhnya kemandirian, keberdayaan dan kebebasan masyarakat, sebaliknya justru menimbulkan dominasi, ketergantungan dan ketidak berdayaan masyarakat. Menyadari kelemahan tersebut,  reorientasi dan pemikiran kembali pembangunan menjadi hal yang logis dan penting untuk dilakukan. Beberapa pemikiran alternatif dapat digunakan sebagai pilihan dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan yang mengedepankan pengembangan komunitas lokal memberi penekanan pada pengembangan sumberdaya lokal, sesuai dengan potensi lokal. Model ini sangat menghargai kemajemukan/keanekaragaman potensi lokal, mengedepankan  kemampuan melakukan tata kelola dan kearifan lokal. Model ini meminimalisasikan berbagai bentuk penyeragaman, yang dipandang dapat  merusak potensi lokal, yang hasil akhirnya adalah menghasilkan produk yang tidak berkelanjutan dan menghasilkan ketergantungan pada kekuatan dari luar, menghilangkan baik inisiatif lokal, maupun sistem tata kelola dan kearifan lokal.
Model lain yang sejalan adalah pembangunan berpusat pada rakyat atau participatory development.  Model ini menekankan partisipasi luas, aksesibilitas, keterwakilan segenap elemen dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang menyangkut nasib dan kehidupan mereka. Model ini juga mengedepankan proses yang demokratis, berbasis masyarakat, bukan berbasis negara,  menolak perencanaan yang bersifat topdown yang sarat dengan mobilisasi, kooptasi dan politik represif, yang memperlemah kemampuan dan partisipasi masyarakat.

Bagian: VI

Man is central concern. Pengembangan infrastruktur yang bertujuan untuk meningkatkan performa kota, tetap harus menempatkan manusia sebagai inti dan hal paling utama dalam proses perencanaan tersebut. Dengan basis kemanusiaan tersebut maka, apapun intervensinya, pengembangan dan pembangunan kota seharusnya dipandang sebagai sebuah proses societal change yang terrencana, harmonis, sistemik dan dinamis berinteraksi dengan kondisi lingkungan yang melingkupinya. Mengingat posisi manusia sebagai central concern,  maka segala pendekatan pengembangan, pembangunan maupun rencana pemanfaatan serta penataan ruang/kawasan/space, seharusnya selalu dijabarkan berdasarkan hak-hak asasi manusia, human right based.

Metodologi Penelitian

-->
Metodologi Penelitian


Metode kuantitatif dan kualitatif berkembang terutama dari akar filosofis dan teori sosial abad ke-20. Kedua metode penelitian di atas mempunyai paradigm teoritik, gaya, dan asumsi paradigmatik penelitian yang berbeda. Masing-masing memuat kekuataan dan keterbatasan, mempunyai topik dan isu penelitian sendiri, serta menggunakan cara pandang berbeda untuk melihat realitas sosial.
Penelitian pada hakikatnya adalah berusaha mendapatkan informasi tentang sistem yang ada (dan beroperasi) pada obyek yang sedang diteliti, maka peneliti perlu menentukan cara menemukan informasi tentang sistem yang sedang dicari itu. Cara menemukan informasi itulah yang bervariasi baik dengan menggunakan metode kuantitatif, kualitatif maupun menggabungkan dari kedua metode tersebut. Perbedaan yang berawal dari paradigma pengetahuan yang berbeda itu nampak pada praktek kegiatan penelitiannya, yaitu dalam penentuan tujuan (masalah), penentuan macam data yang dicari, penentuan sumber data, penentuan instrumen pengumpul data, kegiatan pengumpulan dan analisis data.
A.   PENELITIAN KUANTITATIF
Metode kuantitatif berakar pada paradigma tradisional, positivistik, eksperimental atau empiricist. Metode ini berkembang dari tradisi pemikiran empiris Comte, Mill, Durkeim, Newton dan John Locke. “Gaya” penelitian kuantitatif biasanya mengukur fakta objektif melalui konsep yang diturunkan pada variabel-variabel dan dijabarkan pada indikator-indikator dengan memperhatikan aspek reliabilitas. Penelitian kuantitatif bersifat bebas nilai dan konteks, mempunyai banyak “kasus” dan subjek yang diteliti, sehingga dapat ditampilkan dalam bentuk data statistik yang berarti. Hal penting untuk dicatat di sini adalah, peneliti “terpisah” dari subjek yang ditelitinya.
Pada hakikatnya setiap penelitian kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial menerapkan filosofi yang disebut deducto hipothetico verifikatif artinya, masalah penelitian dipecahkan dengan bantuan cara berpikir deduktif melalui pengajuan hipotesis yang dideduksi dari teori-teori yang bersifat universal dan umum, sehingga kesimpulan dalam bentuk hipotesis inilah yang akan diverifikasi secara empiris melalui cara berpikir induktif dengan bantuan statistika inferensial.
Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu. Untuk itu pengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga dan seterusnya. Berdasarkan pertimbangan dangkal demikian, kemudian peneliti menyatakan bahwa penelitian kuantitatif mencakup setiap penelitian yang didasarkan atas perhitungan persentase, rata-rata dan perhitungan statistik lainnya. Dengan kata lain, penelitian kuantitatif melibatkan diri pada perhitungan atau angka atau kuantitas. Hasil analisis kuantitatif cenderung membuktikan maupun memperkuat teori-teori yang sudah ada.
Ciri-ciri penelitian kuantitatif:
1. Asumsi
Asumsi ontologis: realitas bersifat objektif dan singular terpisah dari peneliti; peneliti independen dari yang diteliti (asumsi epistemologis), bebas nilai dan menghindarkan bias (asumsi aksiologis); formal, berdasar definisi, impersonal dan menggunakan bahasa kuantitatif (asumsi retoris); proses deduktif, sebab akibat, desain statis kategori membatasi sebelum studi, bebas konteks, generalisasi mengarah pada prediksi, eksplanasi dan pemahaman, akurasi dan reliabilitas melalui validitas dan reliabilitas (asumsi metodologis).
Penelitian kuantitatif memiliki ciri khas berhubungan dengan data numerik dan bersifat obyektif. Fakta atau fenomena yang diamati memiliki realitas obyektif yang bisa diukur. Variabel-variabel penelitian dapat diidentifikasi dan interkorelasi variabel dapat diukur. Peneliti kuantitatif menggunakan sisi pandangannya untuk mempelajari subyek yang ia teliti (etik). Keunggulan penelitian kuantitatif terletak pada metodologi yang digunakan.
2. Tujuan penelitian
Penelitian kuantitatif memiliki tujuan menjeneralisasi temuan penelitian sehingga dapat digunakan untuk memprediksi situasi yang sama pada populasi lain. Penelitian kuantitatif juga digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat antar variabel yang diteliti, menguji teori, mencari generalisasi yang mempunyai nilai prediktif.
3. Pendekatan
Penelitian kuantitatif dimulai dengan teori dan hipotesis. Peneliti Peneliti menggunakan teknik manipulasi dan mengkontrol variabel melalui instrumen formal untuk melihat interaksi kausalitas. Peneliti mencoba mereduksi data menjadi susunan numerik selanjutnya ia melakukan analisis terhadap komponen penelitian (variabel). Penarikan kesimpulan secara deduksi dan menetapkan norma secara konsensus. Bahasa penelitian dikemas dalam bentuk laporan.
4. Peran peneliti
Dalam penelitian kuantitatif, peneliti secara ideal berlaku sebagai observer subyek penelitian yang tidak terpengaruh dan memihak (obyektif).
5. Pendekatan kuantitatif lebih menitikberatkan pada frekwensi tinggi
6. Kebenaran dari hasil analisis penelitian kuantitatif bersifat nomothetik dan dapat digeneralisasi.
7. Penelitian kuantitatif menggunakan paradgma positivistik-ilmiah. Segala sesuatu dikatakan ilmiah bila dapat diukur dan diamati secara obyektif yang mengarah kepada kepastian dan kecermatan (Sunarto, 1993: 3). Karena itu, paradigma ilmiah-positivisme melahirkan berbagai bentuk percobaan, perlakuan, pengukuran dan uji-uji statistik.
8. Penelitian kuantitatif sering bertolak dari teori, sehingga bersifat reduksionis dan verifikatif, yakni hanya membuktikan teori (menerima atau menolak teori).
9. Penelitian kuantitatif khususnya eksperimen, dapat menggambarkan sebab-akibat. Peneliti seringkali tertarik untuk mengetahui: apakah X mengakibatkan Y? atau, sejauh mana X mengakibatkanY? Jika peneliti hanya tertarik untuk mengetahui pengaruh X terhadap Y, penelitian eksperimen akan mengendalikan atau mengontrol berbagai variabel (X1, X2, X3 dan seterusnya) yang diduga akan berpengaruh terhadap Y. Kontrol dilakukan sedemikian rupa bukan hanya melalui teknikteknik penelitian melainkan juga melalui analisis statistik.
10. Mengenai waktu pengumpulan dan analisis data sudah dapat dipastikan. Peneliti dapat menentukan berbagai aturan yang terkait dengan pengumpulan data; jumlah tenaga yang diperlukan; berapa lama pengumpulan data akan dilakukan; dan jenis data yang akan dikumpulkan sesuai hipotesis yang dirumuskan. Hal ini sejalan dengan instrumen yang sudah baku dan sudah dipersiapkan. Demikian halnya model analisis data, uji-uji statistik, dan penyajian data – termasuk tabel-tabel yang akan dipergunakan — sudah dapat ditentukan.
B.   PENELITIAN KUALITATIF
1. Definisi
Penelitian kualitatif adalah riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif www.Wikipedia.com. Menurut Strauss dan Corbin yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran). Penelitian kualitatif secara umum dapat digunakan untuk penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial, dan lain-lain. Salah satu alasan menggunakan pendekatan kualitatif adalah pengalaman para peneliti dimana metode ini dapat digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi dibalik fenomena yang kadangkala merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami secara memuaskan.
Bogdan dan Taylor (1992: 21-22) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yng menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasil kan uraian yang mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, dan atau organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik. Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perpektif partisipan. Pemahaman tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian. Berdasarkan analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan berupa pemahaman umum yang sifatnya abstrak tentang kenyataan-kenyataan (Hadjar, 1996 dalam Basrowi dan Sukidin, 2002: 2)
2. Model – model Kualitatif
Model-model kualitatif dapat dikelompokkan menjadi 4 model:
a. Grounded research – Glaser & Strauss
Grounded research banyak memberi sumbangan operasional kualitatif, terutama dalam mencari dan merumuskan teori berdasarkan data empiric. Glaser & Strauss member peluang pengembangan teori substantive menjadi teori formal.
b. Etnometodologi – Bodgan
Etnometodologi lebih banyak sumbangannya terhadapmetode kualitatif, tetapi banyak hal masih terpaku pada metode kuantitatif, antara lain dengan validasi, reliabilitas.
c. Paradigma naturalistic – Guba & Lincoin
Paradigma naturalistic dapat dibandingkan dengan latar alami dalam kualitatif. Model ini digunakan dengan model Grounded research dan Etnometodologi menjadi cirri kualitatif yang paling konsekuen adalah model ini.
d. Interaksi simbolik –Blumer
Model interaksi simbolik menjurus ke kuantitatif-statistik-positivistik. Pendekatan positivistic yang dikritik oleh pendekatan rasionalisme karena tidak adanya grand-theory (yang dihasilkan hanya tesis-tesis spesifik yang tidak direkonstruksi).
3. Karakteristik penelitian kualitatif
Guba (1985: 39 – 44) mengetengahkan empat belas karakteristik penelitian naturalistik, yaitu :
a. Konteks natural (alami), yaitu suatu konteks keutuhan (entity) yang tak akan dipahami dengan membuat isolasi atau eliminasi sehingga terlepas dari konteksnya.
b. Manusia sebagai instrumen. Hal ini dilakukan karena hanya manusia yang mampu menyesuaikan diri dengan berbagai ragam realitas dan menangkap makna, sedangkan instrumen lain seperti tes dan angket tidak akan mampu melakukannya.
c. Pemanfaatan pengetahuan tak terkatakan. Sifat naturalistic memungkinkan mengungkap hal-hal yang tak terkatakan. Sifat naturalistic memungkinkan mengungkap hal-hal yang tak terkatakan yang dapat memperkaya hal-hal yang diekspresikan oleh responden.
d. Metoda kualitatif. Sifat naturalistik lebih memilih metode kualitatif dari pada kuantitatif karena lebih mampu mengungkap realistas ganda, lebih sensitif dan adaptif terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
e. Pengambilan sample secara purposive.
f. Analisis data secara induktif, karena dengan cara tersebut konteksnya akan lebih mudah dideskripsikan. Analisis data induktif menurut paradigma kualitatif adalah analisis data spesifik dari lapangan menjadi unit-unit dan dilanjutkan dengan kategorisasi.
g. Grounded theory. Sifat naturalistik lebih mengarahkan penyusunan teori diangkat dari empiri, bukan dibangun secara apriori. Generalisasi apriorik nampak bagus sebagai ilmu nomothetik, tetapi lemah untuk dapat sesuai dengan konteks idiographik.
h. Desain bersifat sementara. Penelitian kualitatif naturalistic menyusun desain secara terus menerus disesuaikan dengan realita di lapangan tidak menggunakan desain yang telah disusun secara ketat. Hal ini terjadi karena realita di lapangan tidak dapat diramalkan sepenuhnya.
i. Hasil dirundingkan dan disepakati bersama antara peneliti dengan responden. Hal ini dilakukan untuk menghindari salah tafsir atas data yang diperoleh karena responden lebih memahami konteksnya daripada peneliti.
j. Lebih menyukai modus laporan studi kasus, karena dengan demikian deskripsi realitas ganda yang tampil dari interaksi peneliti dengan responden dapat terhindar dari bias. Laporan semacam itu dapat menjadi landasan transferabilitas pada kasus lain.
k. Penafsiran bersifat idiographik (dalam arti keberlakuan khusus), bukan ke nomothetik (dalam arti mencari hukum keberlakuan umum), karena penafsiran yang berbeda nampaknya lebih member makna untuk realitas yang berbeda konteksnya.
l. Aplikasi tentatif, karena realitas itu ganda dan berbeda Ikatan konteks terfokus. Dengan pengambilan fokus, ikatan keseluruhan tidak dihilangkan, tetap terjaga keberadaannya dalam konteks, tidak dilepaskan dari nilai lokalnya.
m. Kriteria keterpercayaan. Dalam penelitian kuantitatif keterpercayaan ditandai dengan adanya validitas dan reliabilitas.
Menurut Kirk dam Miller ciri-ciri Penelitian Kualitatif adalah sbb:
Ciri- ciri pokok Penelitian Kualitatif
a. Naturalistic Inquiry Mempelajari situasi dunia nyata secara alamiah, tidak melakukan manipulasi,; terbuka pada apapun yang timbul.
b. Inductive analysis Mendalami rincian dan kekhasan data guna menemukan kategori, dimensi, dan kesaling hubungan.
c. Holistic perspective Seluruh gejala yang dipelajari dipahami sebagai sistem yang kompleks lebih dari sekedar penjumlahan
d. Qualitative data Deskriptif terinci, kajian dilakukan secara mendalam
e. Personal contact dan insight Peneliti memounyai hubungan langsung dan bergaul erat dengan orang-orang dan situasi, gejala yang sedang dipelajari
f. Dynamic system Memperhatikan proses; menganggap perubahan bersifat konstan dan terus berlangsung baik secara individu maupun budaya secara keseluruhan
g. Unique case orientation Menganggap setaip kasus bersifat khusus dan khas
h. Context sensitivity Menempatkan temuan dalam dalam konteks sosial, historis dan waktu
i. Emphatic netrality Penelitian dilakukan secara netral agar objektif tapi bersifat empati
j. Design flexibility Design penelitiannya bersifat fleksibel, terbuka, beradaptasi sesuai perubahan yang terjadi (tidak bersifat kaku.
(sumber: Patton, 1990: 40-41).
Setelah mensintesiskan pendapat Bogdan & Biklen dengan pendapat Lincoln & Guba, Moleong mengemukakan sebelas karakteristik penelitian kualitatif yaitu :
a. Latar alamiah (penelitian dilakukan pada situasi alamiah dalam suatu keutuhan)
b. Manusia sebagai alat (Manusia/peneliti merupakan alat pengumpulan data yang utama)
c. Metode kualitatif (metode yang digunakan adalah metode kualitatif)
d. Anslisa data secara induktif (mengacu pada temuan lapangan)
e. Teori dari dasar/grounded theory (menuju pada arah penyusunan teori berdasarkan data)
f. Deskriptif (data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka)
g. Lebih mementingkan proses daripada hasil
h. Adanya batas yang ditentukan oleh fokus (perlunya batas penelitian atas dasar fokus yang timbul sebagai masalajh dalam penelitian)
i. Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data (punya versi lain tentang validitas, reliabilitas dan obyektivitas)
j. Desain yang bersifat sementara (desain penelitian terus berkembang sesuai dengan kenyataan lapangan)
k. Hasil penelitiaan dirundingkan dan disepakati bersama (hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama antar peneliti dengan sumber data)
Dengan memperhatikan karakteristik penelitian kualitatif yang dikemukakan para ahli sebagaimana dikemukakan di atas, nampaknya lebih bersifat saling melengkapi dan menambah, karakteristik yang dikemukakan oleh Patton lebih bersipat umum yang merupakan ciri-ciri dasar, rumusan Moleong sudah menambahkan hal-hal yang bersifat operasional penelitian. Dengan beberapa variasi tersebut maka akan lebih menambah pemahaman mengenai metode penelitian kualitatif.
Menurut Sugiyono, metode kuantitatif dan metode kualitatif dapat digunakan bersama-sama atau digabungkan tetapi dengan catatan:
a. Untuk meneliti pada objek yang sama, tetapi tujuan yang berbeda. Metode kualitatif dapat digunakan untuk menemukaan hipotesis, sedangkan metode kuantitatif digunakan untuk menguji hipotesis.
b. Digunakan secara bergantian. Pada tahap pertama menggunakan metode kualitatif sehingga ditemukan hipotesis. Selanjutnya, hipotesis tersebut diuji dengan metode kuantitatif.
c. Metode penelitian tidak dapat digabungkan Karena paradigmanya berbeda. Tetapi dalam penelitian kuantitatif dapat menggabungkan penggunaan teknik pengumpulkan data (bukan metodenya), seperti penggunaan triangulasi dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif misalnya, teknik pengumpulan data yang dperoleh adalah data kuantitatif. Selanjutnya untuk memperkuat dan mengecek validitas data kuesioner tersebut, maka dapat dilengkapi dengan observasi atau wawancara kepada responden yang telah memberikan angket tersebut atau orang lain yang memahami masalah yang diteliti. Bila data antara kuesioner dan wawancara tidak sama, maka dilacak terus sampai ditemukan kebenaran data tersebut. Bila sudah demikian maka proses pengumpulan data seperti trianggulasi dalam penelitian kualitatif.
d. Dapat menggunakan metode tersebut secara bersamaan, asal kedua metode tersebut telah difahami dengan jelas dan seseorang telah berpengalaman luas dalam melakukan penelitian.
PENUTUP
Dengan adanya perbedaan dari metode penelitain kuantitaif dan kualitatif maka peneliti akan dapat menentukan pendekatan mana yang akan digunakan, apakah pendekatan kuantitaif, kualitatif ataupun gabungan dari keduanya. Dalam penentuan metode penelitian yang akan digunakan tergantung pada tujuan penelitian yang akan dilakukan dan hasil yang diharapkan. Pendekatan metode kuantitatif dan kualitatif, keduanya benar dan ilmiah sesuai dengan paradigmanya masing-masing.
DAFTAR RUJUKAN
Musianto L.S, Perbedaan Pendekatan Kuantitatif dengan Pendekatan Kualitatif dalam Metode Penelitian, Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 4, No. 2, September 2002: 123 -136
Somantri G.R, Memahami metode Kualitatif, Makara Sosial Humaniora, Volume 9, No.2 Desember 2005, 57-65
Sofyani I, Rangkuman hakekat penelitian kuantitaitf, kualitatif dan penelitian tindakan (action research) http://www.imansofyani.co.cc/Penelitian/penelitian1.pdf
Sugiyono, Metode penelitian bisnis
Strauss and Corbin, Basics of Qualitative Re